Dinasti Bani Umayyah_

| Wednesday, January 19, 2022

 

Salah satu peristiwa yang terjadi di masa Bani Umayyah



Pada 10 Muharam 61 Hijriyah atau 10 Oktober 680 Masehi, Husein, anak kedua Ali bin Abi Thalib tewas di Karbala dalam sebuah pembantaian yang dilakukan rezim Yazid bin Muawiyah. Beberapa tahun sebelumnya, yakni pada 28 Safar 50 Hijriyah, atau 1 April 670 Masehi, tepat hari ini 1351 tahun silam, Hasan, kakak Husein, meninggal dunia di Madinah karena diracun. Pungkas hayat kakak beradik cucu kesayangan Rasulullah ini tak lepas dari pusaran pertikaian dalam dunia Islam setelah Nabi Muhammad dan tiga khalifah meninggal dunia. Berbeda dengan Husein yang terus merangsek menuju Kufah meski marabahaya mengintainya, sang kakak justru memilih menghindari peperangan dengan kubu Muawiyah demi persatuan umat Islam. Hasan dibaiat menjadi khalifah setelah ayahnya, Ali bin Abi Thalib, meninggal dunia karena dibunuh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam. Si Khawarij itu menebaskan pedangnya saat khalifah keempat tersebut tengah berwudu hendak menunaikan salat Subuh.

Diangkatnya Hasan sebagai khalifah tentu membuat Muawiyah berang, sebab keturunan Umayyah tersebut telah melakukan pemberontakan sejak khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia berambisi menduduki puncak pimpinan kaum Muslimin. Sadar posisinya diincar Muawiyah yang berkedudukan di Damaskus, Syam, Hasan justru secara persuasif menulis surat kepada Muawiyah. Ia memilih tidak menyerbu kekuatan oposisi. “Janganlah engkau terus-menerus terbenam di dalam kebatilan dan kesesatan. Bergabunglah dengan orang-orang yang telah menyatakan baiat kepadaku. Sebenarnya engkau telah mengetahui, bahwa aku lebih berhak menempati kedudukan sebagai pemimpin umat Islam. Lindungilah dirimu dari siksa Allah dan tinggalkanlah perbuatan durhaka. Hentikanlah pertumpahan darah, sudah cukup banyak darah mengalir yang harus kau pikul tanggungjawabnya di akhirat kelak. Nyatakanlah kesetiaanmu kepadaku dan janganlah engkau menuntut sesuatu yang bukan hakmu, demi kerukunan dan persatuan umat Islam,” tulis Hasan seperti dikutip Al-Hamid Al-Husaini dalam Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya (1978). Surat tersebut jelas menggambarkan Hasan sebagai orang yang lebih suka menghindari pertikaian dan pertumpahan darah. Ia juga menekankan pentingnya kerukunan dan persatuan umat Islam. Namun, Muawiyah yang sudah makan asam garam dalam dunia politik, serta telah mengobarkan peperangan demi posisi khalifah sejak zaman Ali, jelas menolak mentah-mentah permintaan Hasan. “Jika aku yakin bahwa engkau lebih tepat menjadi pemimpin daripada diriku, dan jika aku yakin bahwa engkau sanggup menjalankan politik untuk memperkuat kaum Muslimin dan melemahkan kekuatan musuh, tentu kedudukan khalifah akan kuserahkan kepadamu,” balasnya. Jawaban tersebut jelas bukan yang diharapkan Hasan. Apalagi tak lama setelah itu, Muawiyah menyiapkan ribuan pasukan perang yang hendak ia bawa ke Kufah untuk menggempur kekuatan Hasan sebagai khalifah.


Sementara orang-orang Muawiyah terus bergerak mengembuskan kabar-kabar bohong tentang para pemimpin pasukan lain yang diberitakan tewas. Hal ini membuat pasukan pendukung khalifah kian putus asa. Bahkan mereka akhirnya berbalik menyerang Hasan. Di titik inilah Hasan berpikir bahwa perang melawan Muawiyah tidak akan membawa manfaat jika mental pasukannya telah hancur dan sisa pendukungnya hanya akan menjadi bulan-bulanan musuh. Ia akhirnya memilih berdamai dengan Muawiyah dengan sejumlah kesepakatan yang salah satu isinya adalah menyerahkan kekhalifahan kepada putra Abu Sufyan tersebut. Keputusannya ini sempat membuat kecewa dan marah para pencinta keluarga Rasulullah (ahlul bait), salah satunya adalah Hujur bin Adi yang amat setia kepada ahlul bait. Ia marah sehingga berani mengecam Hasan. Menanggapi reaksi seperti itu, Hasan dengan tenang menjawab: “Hai Hujur, ketahuilah bahwa tidak semua orang menghendaki apa yang engkau inginkan itu. Demikian pula tidak semua orang berpikir seperti engkau. Sesungguhnya dengan menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah itu aku tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk menyelamatkan kalian dari kehancuran dan kebinasaan,” jawab Hasan. Setelah menyelesaikan segala urusan di Kufah, Hasan kemudian pergi ke Madinah. Sebelum berangkat, ia menyampaikan beberapa hal kepada penduduk Kufah yang masih mendukungnya. Hasan mengatakan bahwa Muawiyah telah merebut kekhalifahan yang menjadi haknya. Namun, ia lebih mengutamakan perdamaian agar dua kubu kaum Muslimin yang berseteru tidak lagi menumpahkan darah seperti masa-masa ke belakang saat sejumlah perang melumatkan jiwa-jiwa yang sejatinya bersaudara.


Kedatangan Hasan di Madinah disambut gembira sekaligus sedih oleh penduduk kota tersebut. Mereka gembira sebab cucu Rasulullah kembali ke tanah tempat kakeknya mula-mula membangun peradaban, tapi kesedihan pun menyeruak sebab kepemimpinan Islam tidak lagi berada di tangannya. Di Madinah, saat ia tidak lagi dalam pusaran ingar-bingar politik, Hasan tekun mendekatkan dirinya kepada Allah. Ia giat mengajarkan ilmu agama kepada penduduk Madinah di Masjid Nabawi. Selain itu, ia juga rajin belajar kepada para sahabat kakeknya yang telah sepuh. Pada 28 Safar tahun 50 Hijriyah, atau sebelas tahun sebelum kelak adiknya meninggal di padang Karbala, Hasan wafat dalam usia 46. Beberapa saat sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir, Hasan berkata kepada Husein, adiknya. “Tiga kali aku pernah menderita keracunan, tetapi tidak sehebat yang kualami sekarang ini,” ucapnya. Husein bertanya kepada kakaknya siapakah kiranya yang telah meracuninya. Namun, dengan semangat persatuan Hasan menolak memberitahu orang yang telah meracuninya. Ia khawatir adiknya yang berkarakter lebih keras daripada dirinya akan menuntut balas sehingga akan terjadi pertumpahan darah sesama kaum Muslimin.


Itulah tadi akhir dari salah satu peristiwa yang terjadi pada masa Bani Umayyah yang mana terjadi perebutan kekuasaan untuk menjadi Khalifah selepas kematian khalifah keempat.


0 Komentar:

Next Prev
▲Top▲